TAHUN pelajaran baru 2025/2026 nan baru bergulir menjadi momen krusial bagi bumi pendidikan, mulai dari pemangku kepentingan hingga masyarakat luas. Di beberapa daerah, seperti Kabupaten Magelang, Sumedang, dan apalagi Provinsi Kalimantan Selatan, muncul satu aktivitas nan digaungkan dengan penuh semangat: Gerakan Wajib PAUD.
Pemerintah wilayah berambisi dengan mendorong semua anak usia awal masuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), kualitas generasi mendatang bakal meningkat. Tapi pertanyaannya: sepenting itukah PAUD sampai perlu diwajibkan? Apakah aktivitas ini telah betul-betul menjawab kebutuhan anak-anak Indonesia nan begitu beragam konteks sosial dan budayanya?
PAUD memang mempunyai peran strategis dalam perkembangan anak usia dini. Dalam teori perkembangan kognitif Jean Piaget, usia 2–7 tahun merupakan masa praoperasional—masa ketika anak menyerap info dari lingkungan melalui pengalaman langsung. Di usia ini, anak mulai mengembangkan bahasa, imajinasi, dan keahlian simbolik, meskipun belum bisa berpikir logis secara sistematis.
Lembaga PAUD idealnya memberi stimulasi nan terstruktur agar potensi anak berkembang maksimal melalui permainan edukatif, hubungan sosial, dan aktivitas nan sesuai dengan tahap perkembangannya. Penelitian dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa anak nan mengikuti PAUD mempunyai keahlian kognitif, emosional, dan sosial lebih tinggi saat masuk SD dibanding anak nan tidak mengikuti PAUD. Ini seolah menegaskan pentingnya PAUD dalam membentuk fondasi awal pendidikan.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa lingkungan belajar tidak selalu identik dengan ruang kelas dan meja kursi. Di wilayah perkotaan, ruang bermain anak semakin menyempit, hubungan sosial tersendat oleh kemajuan teknologi, dan banyak orang tua sibuk bekerja dari pagi hingga malam. Dalam konteks ini, PAUD bisa menjadi ruang pengganti nan sehat, aman, dan terarah untuk tumbuh kembang anak. Maka, aktivitas wajib PAUD di kota-kota besar terasa lebih masuk akal, lantaran kebutuhan bakal ruang sosialisasi dan edukasi nan kondusif memang sangat tinggi.
Sebaliknya, realitas di pedesaan seringkali sangat berbeda. Anak-anak tetap tumbuh di lingkungan nan kaya pengalaman sensorik dan sosial—bermain di sawah, berlarian di ladang, alias menyusuri sungai berbareng kawan sebaya. Lingkungan alam ini memberikan stimulasi nan natural dan tidak kalah krusial dibandingkan aktivitas edukatif di lembaga PAUD. Bahkan, dalam pendekatan pendidikan berbasis alam seperti metode Montessori dan filosofi Reggio Emilia, eksplorasi alam justru menjadi sumber belajar utama bagi anak usia dini. Jika negara bersikeras mewajibkan PAUD tanpa memahami konteks lokal, bisa jadi anak-anak justru tercerabut dari akar budayanya sendiri. Bukankah pendidikan nan ideal adalah pendidikan nan membumi?
Gerakan ini juga perlu dicermati dari perspektif pandang orang tua. Ada perihal nan lebih krusial daripada sekadar datang di lembaga PAUD, ialah kesadaran orang tua bakal tanggung jawab mereka dalam pendidikan anak. Saat orang tua menitipkan anak ke lembaga pendidikan, mereka kudu sadar bahwa pewarnaan karakter anak bakal sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, langkah berinteraksi, dan pendekatan pedagogis lembaga tersebut. Maka, krusial bagi orang tua untuk membaca visi-misi, metode pembelajaran, hingga orientasi ideologis lembaga PAUD sebelum memilihnya. Melakukan survei lapangan, berbincang dengan guru, dan mengawasi langsung aktivitas pembelajaran menjadi bagian dari tanggung jawab nan tak bisa diabaikan.
Tantangan lainnya adalah kesenjangan kualitas antar lembaga PAUD itu sendiri. Tidak semua PAUD mempunyai tenaga pendidik nan kompeten alias akomodasi nan memadai. Dalam survei Kemendikbudristek tahun 2022, lebih dari 40% lembaga PAUD di Indonesia belum mempunyai pendidik dengan kualifikasi minimal S1 PAUD. Artinya, ketika tanggungjawab diberlakukan secara nasional tanpa memperkuat kualitas institusi, bisa jadi kita sedang mendorong anak-anak untuk masuk ke lembaga nan belum siap. Tentu ini bisa menjadi bumerang dalam jangka panjang.
Pendidikan anak usia awal tidak boleh hanya dipandang sebagai tanggungjawab administratif semata. Gerakan wajib PAUD semestinya tidak hanya menargetkan nomor partisipasi, tetapi juga menyentuh dimensi kesadaran dan kesiapan. Kesiapan anak, kesiapan orang tua, dan kesiapan lembaga pendidikan kudu melangkah beriringan. Tanpa itu, program ini bakal menjadi formalitas tahunan nan jauh dari tujuan mulianya membangun fondasi pendidikan nan kuat.
Pendidikan sejatinya kudu kontekstual dan relevan dengan lingkungan sosial-budaya anak. Di desa, mungkin PAUD bisa dirancang sebagai taman belajar berbasis alam, sedangkan di kota lebih kepada ruang sosial nan memperkuat hubungan dan nilai kebersamaan. Pemerintah wilayah semestinya diberi elastisitas untuk menyesuaikan model PAUD berasas karakter wilayah masing-masing. Sentralisasi kebijakan tanpa ruang penyesuaian hanya bakal melahirkan keseragaman nan tidak setara bagi anak-anak Indonesia nan sangat beragam.
Sudah saatnya pendekatan “wajib” dalam pendidikan anak usia awal dilengkapi dengan pendekatan “kesadaran” dan “kesiapan”. Orang tua, guru, dan pemerintah kudu melangkah berbareng dalam membangun generasi emas, bukan sekadar mencentang kehadiran anak di ruang kelas PAUD. Mari kita mulai dengan bertanya bukan hanya apakah anak-anak kita sudah masuk PAUD, tetapi apakah mereka berada di lingkungan belajar nan tepat, aman, dan sesuai dengan dunianya. Sebab dari sanalah generasi masa depan kita dilahirkan dan dibentuk.
Oleh: Bambang, M.Pd dan Misbachul Huda, M.Pd
Penulis adalah pemerhati pendidikan dan pengajar prodi PGSD di STKIP Al Hikmah Surabaya
The post Gerakan Wajib PAUD: Sepenting Itukah? appeared first on Kabarjatim.com.